Laporan terbaru menunjukkan pentingnya penguatan kebijakan nol deforestasi oleh perusahaan penyuling kelapa sawit
[Click here for the English version of the article]
- Sektor hutan tanaman industri di Indonesia dan Malaysia melakukan pembukaan hutan terus menerus.
- Pelaku pembukaan lahan adalah para rekanan bisnis dari perusahaan penyulingan minyak sawit utama di dunia.
- Dengan mengadopsi kebijakan komoditas silang, perusahaan penyuling minyak sawit dapat melindungi lebih banyak hutan.
Amsterdam, 26 Agustus 2021. Dalam laporan terbarunya, Aidenvironment mendata pembukaan hutan seluas 133.000 hektar yang dilakukan oleh sepuluh perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman industri di Indonesia dan Malaysia sejak tahun 2016, termasuk 21.000 hektar di dalamnya terjadi pada tahun 2020. Sepuluh besar perusahaan yang ditandai tersebut merupakan rekanan bisnis perusahaan-perusahaan penyulingan minyak sawit terbesar di dunia. Laporan tersebut menunjukkan pentingnya perusahaan penyulingan minyak kelapa sawit untuk memperluas cakupan kebijakan nol deforestasi untuk memasukkan sektor tanaman industri, dan memanfaatkan posisinya untuk melindungi lebih banyak hutan.
To view the report: The need for cross-commodity no-deforestation policies by the world’s palm oil buyers
Sektor hutan tanaman industri di Indonesia dan Malaysia adalah sektor bisnis perkebunan terbesar kedua setelah perkebunan kelapa sawit di negara-negara tersebut. Terdapat tumpang tindih dalam jumlah yang besar antara perusahaan yang memiliki bisnis tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit. Laporan tersebut mengangkat kasus pembukaan hutan oleh tujuh perusahaan dengan kedua bisnis tersebut di Indonesia (Nusantara Fiber, Djarum, Adindo Hutani Lestari, Jhonlin, Hardaya, dan Sampoerna) serta tiga perusahaan di Malaysia (Rimbunan Hijau, Samling and Shin Yang).
Keseluruhan perusahaan tersebut memiliki hubungan rantai pasok dengan satu atau lebih perusahaan penyulingan minyak sawit terbesar di dunia. Semua perusahaan penyulingan tersebut, termasuk di dalamnya ada Apical, Wilmar, Musim Mas, Golden Agri Resources, dan Cargill, memiliki kebijakan yang berkomitmen terhadap penghentian pembukaan hutan dalam rantai pasoknya. Namun kebijakan tersebut hanya berlaku untuk pembukaan hutan akibat perkebunan kelapa sawit, sehingga masih ada paparan terhadap pembukaan hutan di komoditas lainnya.
Perusahaan barang konsumen, termasuk di dalamnya Colgate-Palmolive, Danone, Friesland Campina, General Mills, Grupo Bimbo, Johnson&Johnson, Kellogg’s, L’Oréal, Mars, Mondelēz, Nestlé, P&G, PepsiCo, Reckitt Benckiser, Hershey, and Unilever, juga punya kaitan dengan perusahaan penyulingan minyak sawit yang disebutkan dalam laporan tersebut dan masih memiliki risiko terpapar pelaku pembukaan hutan dalam rantai pasoknya.
Laporan dari Aidenvironment ini menunjukkan bahwa ketujuh perusahaan pembuka hutan di Indonesia masih memiliki sisa 373.000 hektar hutan yang belum tersentuh di area konsesinya, seringkali juga merupakan habitat orangutan yang dilindungi.
Konsumen kelapa sawit memiliki kesempatan untuk berkontribusi terhadap konservasi hutan. Dengan mempertimbangkan tanaman industri dalam kebijakan nol deforestasi dan memberikan tekanan kepada rekanan bisnis untuk mematuhi kebijakan perusahaan secara keseluruhan, perusahaan penyulingan minyak sawit dan perusahaan barang konsumen dapat melindungi lebih banyak hutan dan secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan kelestarian di kedua sektor yang paling banyak memakan lahan di Indonesia dan Malaysia.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: Chris Wiggs, Aidenvironment, wiggs@aidenvironment.asia
View the report here | More on Aidenvironment’s pulp and paper project here